supported by: travel detik.com |
Tahu alien kan? Yahh pasti semua orang tahu lah tentang alien, itu lho makhluk pintar dari planet lain (di luar bumi). Kisah ini cukup menegangkan, melibatkan banyak oknum, bahkan perangkat desa sampai pemerintahan di kota tempat aku tinggal. Kabupaten Blora.
Hemmm.... sudah banyak telinga yang aku kasih share tentang kisah ini, dan
baru kali ini ingin aku tulis, agar banyak orang yang menyaksikan keotentikan
kisahku ini. Tapi orang yang pertama kali mendengar kesaksian ini adalah TalesBogor, aku sebut seperti itu, karena memang betisnya seukuran Tales yang
berasal dari Bogor (sedikit hiperbola sih). Percakapan kesaksian itupun via BBM
di malam hari, yang sebenarnya tidak ingin sama sekali aku ceritakan ke dia.
Karena dia tipe orang yang kurang merespon tentang ke-Alien-an ku. (kurang
merespon tidak berarti "tidak merespon")
Langsung saja ya... aku ceritakan Kisahku dengan Kapal Induk Alien
Awal kisah aku mulai ketika Kepala Bidang tempatku bekerja, menunjukku
untuk men-survey suatu daerah, yang mengajukan proposal untuk membangun
infrastruktur jalan lingkungan. Daerah tersebut, sama sekali belum pernah aku
kunjungi, memikirkannya pun belum pernah sama sekali. Ya.. namanya juga suatu
tugas, jadi mau tidak mau harus aku kerjakan dengan senang hati. Saat
kudapatkan surat tugas tersebut, dan aku membacanya, pikiranku melayang. Terpikir
suatu tempat yang jauh, yang terpelosok, dan jauh dari peradaban. di suatu
desa (maaf privasi), di Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, sama sekali belum
pernah mendengar nama desa tersebut. Setelah aku terima surat tugas tersebut,
maka sesegera mungkin membuat jadwal untuk mengunjungi desa tersebut.
Pagi itu, hari senin. Tepat pukul 09.00 WIB, aku berangkat dari rumah,
berbekal peta corat-coret yang aku buat berdasarkan arahan Google Earth.
Ditemani montor supra yang sudah penuh tangki bensinnya, aku siap menjalankan
misi ke Barat (kebetulan daerah tersebut berada di arah Barat dari rumahku).
Perjalanan aku tempuh dengan santai, tidak ngoyo, agar ketika aku sampai di
lokasi tetap dalam kondisi yang fit.
Hampir satu jam, aku tempuh dengan rute perjalanan darat, tentunya dengan
bertanya-tanya ke orang-orang yang bisa aku temui. Sampailah aku di suatu
rumah, yang kata warga sekitar adalah rumah bapak Kades. Rumah Pak Kades memang
paling mencolok dibandingkan rumah dikanan-kirinya, halamannya luas, ditanami
pohon yang menunjukkan kesan asri dan rindang. Bapak Kades tersebut sangat
ramah, dan dengan hangat menyambut kedatanganku. Ternyata Pak Kades sudah tau
maksud dan tujuanku datang ke situ. Seperti biasa, banyak basa-basi, untuk
menyelami karakter orang yang aku ajak bicara. di tengah percakapan, bu kades
muncul dari belakang tirai membawakan kudapan dan minuman untuk menuguh diriku,
dan dia ikut duduk menemani Pak Kades, dan perbincanganpu kami lanjutkan.
"Mas Alfa, sudah pernah pergi ke Todanan mas...?" tanya ibu
kades.
"di todanan ini banyak objek wisata alam, ada Gua Terawang ada Waduk
Bentolo, ada juga Bumi Perkemahan" tambah Pak Kades
Memang sih saya belum pernah sama sekali pergi kesana, hanya pernah lewat
saja. Emmm tapi kalo Goa Terawang pernah sih...suasananya masih alami, tapi
kebersihannya kurang terjaga, khususnya fasilitas Toiletnya.
Setengah jam kami gunakan untuk berbincang kecil, dan aku mulai mengajak
Bapak Kades agar menunjukkan lokasi jalan yang diusulkan. Sebelum kami menuju
lokasi, bapak memberi kabar melalui pesan singkat (SMS) ataupun telepon kepada
perangkat desa, agar ada banyak teman yang membantu mengukur jalan. Setelah
menutup, dari bapak Kamituwo, tiba-tiba Bapak Kades berkata kepada saya, bahwa
dia memohon maaf tidak dapat menemani proses pengukuran jalan, dikarenakan ada
urusan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi entah mengapa aku melihat ada
yang aneh dengan bapak, ekspresinya mendadak tegang dan berkeringat, sehingga
spontan aku bertanya: “Maaf bapak sedang sakit?” dengan nada santun agar tidak
menyinggung bapak. “ohh... endak apa-apa mas, lho bapak sehat!!!” jawabnya
sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Kulanuwun...” terdengar suara salam dari arah luar, ehh ternyata bapak
Kamituwo dan Pak Carik datang bersama kedua pemuda desa, memenuhi panggilan
bapak Kades. “Mas Alfa... nanti ngukur jalannya sama mereka saja ya, mereka
sudah ahli kok” kata Pak Kades. Yahh.... untuk mempersingkat waktu, akupun
lantas pamit, dan meneruskan tugasku. Akupun bersalaman dengan Pak Kades dan
ibu, dan melanjutkan tugasku...
Dalam perjalanan menuju lokasi (dengan berkendara motor), akupun
memperkenalkan diri kepada bapak-bapak yang menemaniku. Ternyata mereka juga
ramah-ramah dan sangat baik. Mereka mempunyai semangat untuk dapat memajukan
desa, agar desa tersebut dapat bersaing dengan desa-desa di Kecamatan Kota.
Mendengar perkataan itu aku sempat bangga dengan mereka, meskipun di pelosok
Kabupaten seperti ini, mereka masih mempunyai suatu motovasi diri yang tinggi.
“Pak... lokasinya masih jauh ya?” tanyaku ingin tahu...
“Tidak mas... itu didepan sana, sebentar lagi sudah mau sampai...”jawab pak
carik
Syukurlah, benar kata pak carik, kamipun berhenti, memarkirkan motor kami.
Aku buang pandangan sejauh mungkin, menikmati kondisi alam yang memang masih
sangat asri.
“Lhoo pak.... daerah yang disana itu.. waduk ya pak?” tanyaku sambil
menunjuk genangan yang cukup luas di sudut desa.
“Iya mas... itu yang namanya waduk Bentolo” jawabnya, dan entah mengapa pak
carik tidak berniat meneruskan pembicaraan tentang waduk tersebut. Akan tetapi
aku dibuat penasaran.
“Oww waduk bentolo, itu waduk yang dikatakan Bapak Kades tadi, luas juga ya
pak... kok tidak dimanfaatkan dengan optimal, untuk rekreasi mungkin?” kembali
aku bertanya kepada mereka.
Sesaat terdiam, dan tak ada yang menyahut pertanyaanku, “Emmm ya kami cukup
tertolong dengan adanya waduk tersebut mas...” pak Kamituwo menjawab, dan...
“Mari mas kita langsung saja berjalan ke lokasi” ajak Pak Carik mencoba
menghentikan pembicaraan mengenai waduk tersebut. Ada apa yang, ahh mungkin
hanya perasaanku saja, tapi aku merasa ada yang aneh dengan bapak-bapak ini.
Setiap aku tanya perihal waduk, mereka mencoba mengalihkan pembicaraan. Ahh
biarlah, nanti setelah kami selesai pengukuran, akan aku tanyakan. Mungkin saja
waktunya belum tepat (mencoba positive thingking)
Di siang hari yang panas, kami mengukur jalan, men-sket, dan mencatat
elevasi. Dibantu oleh pak kamituwo, pak cari dan kedua pemuda yang merek ajak. Aku
ambil beberapa foto dokumentasi, namun... “Mas Alfa.. sudah mas... tidak usah
ambil foto banyak-banyak, nanti memorikameranya habis lho” sambil menepuk
bahuku, pak Carik menghentikan dokumentasi.
“Pak... memorinya masih banyak kok, tidak bakalan habis” ujarku, tapi pak
cari kembali berkata yang membuatku berpikir bapak-bapak ini, memang aneh,
atau? Aku yang terlalu berpikir yang bukan-bukan.
“Tapi pak, foto-foto ini untuk dokumentasi, dijadikan bukti otentik bahwa
kondisi nol persen jalan memang seperti ini adanya” aku mencoba menjelaskan.
“Iya mas... tapi kan tadi sudah diambil beberapa foto, kan sudah cukup” Pak
carik dengan nada yang agak tersinggung memaksaku menghentikan dokumentasi. Ya
sudahlah, aku hentikan foto-fotonya, kalo memang tidak boleh difoto-foto.
Akhirnya pengukuran selesai juga dan kami berjalan menuju tempat parkir
motor kami. Ditengah perjalanan, aku mendengar suara alat berat, seperti
escavator. Dan ternyata benar. Ada alat-alat berat yang sedang berproduksi,
beberapa meter dari posisi kami. Kok ada alat-alat tersebut di pelosok
kabupaten?, tanyaku dalam hati.
“Pak... maaf, sedang ada proyek ya pak?” kuberanikan diri bertanya
“Oww itu mas... iya mas... dengan adanya mobil-mobil besar itu, desa kami
menjadi bising, belum lagi ada satu mobil yang biasanya mengeluarkan suara yang
keras, yang bisa memecahkan batu, kalau mobil itu beroperasi, tanah desa
seperti bergoncang kuat” ujarnya sangat antusias bercerita.
“Ngomong-ngomong, memang mau membangun apa pak? Kok sampai mendatangkan
alat-alat berat?” ada sesuatu hal yang menarik perhatianku.
“Katanya sih mau dibuat pabrik gitu mas...” jawab pemuda yang sedari tadi
diam seribu bahasa.
Wahh... keren juga ni, ada lapangan pekerjaan yang dapat menyerap banyak
tenaga kerja, ucapku dalam hati. Memangnya di tempat seperti ini mau dibangun
pabrik apa ya...? Kemudian pak kamituwo mendadak berhenti dari langkahnya, dan
sepertinya ingin berkata serius, raut wajahnya menunjukkan hal itu.
“Tapi mas... dengan adanya alat-alat tersbut, membuat sumber air di Waduk
Bentolo menjadi berangsur-angsur menyusut. Debit airnya pun semakin hari
semakin menyusut” Ujar pak kamituwo, dan aku rasa dia sangat ingin bercerita
rupanya. Akupun menyimak dengan senang hati.
“Waduk Bentolo adalah waduk yang sangat berarti bagi kehidupan di sini
mas... dari waduk inilah kami warga desa bisa hidup dan mendapatkan kebutuhan
air sehari-hari” Pak kamituwo melanjutkan ceritanya, dan nampaknya dia sedikit
sedih, aku ikut terlarut suasana, hanya terdiam mengalir bersama alur yang
disampaikan Pak Kamituwo.
Sedikit memberanikan diri, aku berkata kepada bapak-bapak tersebut: “Maaf
pak, bukannya saya kurang sependapat dengan bapak... Apakah pada musim kemarau
seperti saat ini, air diwaduk juga terus ada menggenang pak? Tanyaku pada
mereka.
“Ohhh tentu saja mas... waduk itu tidak pernah surut, sekalipun kemarau
panjang” timpal Pak Carik sangat menggebu.
Emmm begitu rupanya, pantas saja warga desa sangat resah melihat kondisi
waduk yang mengalami surut seperti saat ini. “Pak.. boleh tidak jika kita
sebelum ke tempat parkir motor, kita coba tengok waduk tersebut, sebentar saja
pak, mungkin saya bisa mencarikan solusi” pintaku kepada mereka, sepertinya
agak berat meng-iya-kan permintaanku. Tapi...
“Ya sudah, ayookk kita ke sana, sebentar saja tidak masalah” jawab pak
Carik, dan dia memberi kode dengan anggukan kepada Pak Kamituwo dan kedua
pemuda tadi. Kamipun berjalan ke arah waduk. Terhitung singkat, kamipun
sampailah sudah di tepian waduk, wahh... luar biasa, aku baru tahu jikalau Waduk
Bentolo ternyata cukup luas.
Kalau aku lihat, airnya masih cukup banyak, memang sih ada sedikit ada
penyusutan di tepian waduk. Mataku dengan takjub melihat waduk tersebut, dan
entah mengapa, sepertinya ada yang menarik perhatianku. Ada sesuatu benda yang
menyembul keluar, tepatnya berasal dari tengah Waduk . Jika aku amat-amati
benda yang sebagian besar terbenam itu, dan hanya tampak bagian kecilnya saja,
begitu menyilaukan ketika sinar matahari terpantul dari pemukaannya. Sontak
saja, aku bertanya kepada mereka: “Pak... saya melihat ada benda yang sangat
menyilaukan di tengah waduk, benda apa itu ya pak?”
“Yang mana mas... Oww itu, itu salah satu parameter pengukur ketinggian air
dalam waduk mas...” jawab pak Carik sedikit kebingungan, nampaknya ada sesuatu
hal yang ditutup-tutupi oleh mereka. Jika benda itu adalah parameter pengukur
ketinggian air, pastinya tidak akan dipasang ditengah Waduk . Hal ini membuatku
tambah ingin tahu. Tapi melihat situasi yang nampaknya tidak mengijinkanku,
akupun sedikit meredam rasa penasaranku.
“Bagaimana mas alfa... sudah puas melihat kondisi waduknya?” Pak Kamituwo
mengajak untuk meninggalkan waduk, dan entah hanya perasaanku saja atau memang
benar, bahwa mereka berempat seolah mencoba menutupi sesuatu yang aku tidak
tahu apa itu. Yahh... belum sempat juga aku mengambil foto-foto waduk
itu,tapi... ya sudahlah, nanti saja ketika mereka berempat sudah pulang, aku
bisa leluasa mengambil dokumentasi waduk. Dan benda asing itu, aku ingin sekali
memfotonya.
Pak kamituwo mengajak kami untuk mampir ke rumahnya, yang memang diantara
keempat warga tersebut, rumah pak kamituwo-lah yang paling dekat dari lokasi
tempat kami berada. Di sanalah kami
disuguhi kudapan dan minum, ya setidaknya cukup untuk mengganjal perut yang sudah
mulai keroncongan. Di rumah bapak kamituwo, kami juga bersenda gurau,
bercakap-cakap, sungguh suasana yang begitu hangat. Jam yang melingkar
ditanganku menunjukkan pukul 15.00 WIB, saatnya untuk aku undur diri. Setelah
mohon pamit, dan kami bersalaman, aku menghampiri motor supraku, kukenakan
jaket tempur dan helm, akupun meninggalkan rumah Bapak Kamituwo.
Aku tidak langsung pulang, perasaan ingin tahuku mengenai waduk Bentolo berkecamuk
dengan kuatnya. Aku berpikir sangat leluasa mengambil foto-foto yang akan aku
jadikan dokumentasi nantinya di kantor, siapa tahu berguna. Aku berinisiatif mencari
jalan lain menuju waduk, agar niatanku ini tidak diketahui oleh bapak-bapak
tadi. Sampailah aku ditepi waduk, posisiku saat ini lebih dekat dengan benda
asing yang menjadi pusat keingintahuanku. Aku ambil kamera digital dari saku
tasku. Dengan zoom in, aku ambil semua gambar yang tampaknya berguna. Sekitar 20
foto aku dapatkan, dan aku coba untuk melihat hasil jepretan tadi. Betapa
terkejutnya diriku, benda asing itu ternyata bukanlah alat ukur ketinggian air,
atau apalah itu seperti yang disampaikan pak Carik.
Terlihat bagian bagian kapal indukmenyeruak ke permukaan |
Inilah penyebab warga desa terdiam, dan menutup-nutupi keberadaan benda
asing ini. Mereka begitu kawatir jika air waduk surut, maka rahasia mereka akan
terbongkar. Oleh karena itu, mereka begitu mengutuk, adanya pembangunan pabrik,
jika ada keramaian masuk ke desa ini,maka nantinya akan membuat desa ini
terekspose ke luar. Benda asing yang sepertinya bundar itu, kira-kira
berdiameter 30-an meter, cukup besar memang, dan bakalan menjadi sorotan
masyarakat kota, mungkin juga nasional, bahkan internasional.
Tiba-tiba, dari ujung waduk (diseberang tempat aku berdiri), aku melihat
sosok yang tampaknya aku kenal, dengan kemeja yang dia gunakan. Aku bersembunyi
dari balik semak-semak. Rupanya dia adalah Bapak Lurah. Langkahnya gontai
menuju waduk, aku baru menyadari bahwa ukuran jari pak Lurah sangat panjang,
tidak seperti ukuran jari pada umumnya. Kulitnya pucat dan tampak ada
bercak-bercak kecoklatan (padahal sebelumnya tidak ada). Apa yang sedang dia lakukan,
dia mencoba membasuh wajahnya dengan air waduk, dan sungguh pemandangan yang
membuatku takut. Wajahnya terkelupas separuh, dari kejauhan aku melihat,
seperti karet silikon yang dia lepas dari wajahnya itu. Dibalik karet silikon
tersebut, aku melihat mata yang sangat besar, dengan iris mata berwarna kuning.
Dan saat ini, dia melihat ke arahku. Aku ketakutan sangat parah, sampai
sendi-sendiku tidak bisa aku gerakan.
Makhluk itu berdiri, dan mengacungkan telunjukknya ke arah semak tempat aku
bersembunyi. Aku terjerembab terduduk. Betapa kacaunya perasaanku saat itu.
Dari arah belakang, ada orang yang mendekap mulutku, dan memegang tanganku. Saat
aku mencoba meronta, aku melihat mereka adalah keempat warga yang bersama-sama
denganku sedari tadi. Mereka adalah Pak Kamituwo, Pak Carik, dan kedua pemuda
desa.
Mereka tidaklah orang yang sama, yang aku kenal... topeng-topeng silikon
telah terkelupas satu per satu, sehingga wujud asli mereka terlihat jelas. Aku
tertangkap dan diseret kedalam Waduk ... tanpa bisa mengelak. Mereka mencoba
menenggelamkan diriku ke waduk... dengan jelas aku bisa menatap wajah mereka,
mata yang bersat, hidung yang hampir tiada, tanpa daun telinga, dengan
jari-jari mereka yang panjang. Aku melihat motor supraku mereka rusak dan
mereka buang ke waduk. Wajahku di masukkan kedalam waduk, berkali-kali
dicelupkan dan tanpa bisa melawan.
Dan saat nafasku hampir habis....
Akupun tersentak kaget. Aku buang bantal yang menutup wajahku, rupanya aku
tidur tengkurap malam itu. Dan aku lihat jam di alarm BlackBerry sudah
menunjukkan pukul 06.00 WIB.
Kisah ini hanyalah bunga tidur seorang perjaka yang terlalu kecapekan bergadang, sehingga munculah ilusi dalam pikiran... Maaf ya, hanya mimpi...
Kecapekan garap proyek yow Dhek Bro...
ReplyDelete