Friday, October 26, 2012

Kapal Induk Alien, Terkuak!!! Warga sekitar Waduk Bentolo-Blora berusaha menutupinya

supported by: travel detik.com
Hai guys... dimanapun kalian berada. Emmm... saat ini, aku ingin sedikit share kisah ku... yang sudah lama ingin aku publish. Kisah ini tentang pengalaman pribadiku dengan Alien.
Tahu alien kan? Yahh pasti semua orang tahu lah tentang alien, itu lho makhluk pintar dari planet lain (di luar bumi). Kisah ini cukup menegangkan, melibatkan banyak oknum, bahkan perangkat desa sampai pemerintahan di kota tempat aku tinggal. Kabupaten Blora.

Hemmm.... sudah banyak telinga yang aku kasih share tentang kisah ini, dan baru kali ini ingin aku tulis, agar banyak orang yang menyaksikan keotentikan kisahku ini. Tapi orang yang pertama kali mendengar kesaksian ini adalah TalesBogor, aku sebut seperti itu, karena memang betisnya seukuran Tales yang berasal dari Bogor (sedikit hiperbola sih). Percakapan kesaksian itupun via BBM di malam hari, yang sebenarnya tidak ingin sama sekali aku ceritakan ke dia. Karena dia tipe orang yang kurang merespon tentang ke-Alien-an ku. (kurang merespon tidak berarti "tidak merespon")

Langsung saja ya... aku ceritakan Kisahku dengan Kapal Induk Alien 

Awal kisah aku mulai ketika Kepala Bidang tempatku bekerja, menunjukku untuk men-survey suatu daerah, yang mengajukan proposal untuk membangun infrastruktur jalan lingkungan. Daerah tersebut, sama sekali belum pernah aku kunjungi, memikirkannya pun belum pernah sama sekali. Ya.. namanya juga suatu tugas, jadi mau tidak mau harus aku kerjakan dengan senang hati. Saat kudapatkan surat tugas tersebut, dan aku membacanya, pikiranku melayang. Terpikir suatu tempat yang jauh, yang terpelosok, dan jauh dari peradaban. di suatu desa (maaf privasi), di Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, sama sekali belum pernah mendengar nama desa tersebut. Setelah aku terima surat tugas tersebut, maka sesegera mungkin membuat jadwal untuk mengunjungi desa tersebut.

Pagi itu, hari senin. Tepat pukul 09.00 WIB, aku berangkat dari rumah, berbekal peta corat-coret yang aku buat berdasarkan arahan Google Earth. Ditemani montor supra yang sudah penuh tangki bensinnya, aku siap menjalankan misi ke Barat (kebetulan daerah tersebut berada di arah Barat dari rumahku). Perjalanan aku tempuh dengan santai, tidak ngoyo, agar ketika aku sampai di lokasi tetap dalam kondisi yang fit.

Hampir satu jam, aku tempuh dengan rute perjalanan darat, tentunya dengan bertanya-tanya ke orang-orang yang bisa aku temui. Sampailah aku di suatu rumah, yang kata warga sekitar adalah rumah bapak Kades. Rumah Pak Kades memang paling mencolok dibandingkan rumah dikanan-kirinya, halamannya luas, ditanami pohon yang menunjukkan kesan asri dan rindang. Bapak Kades tersebut sangat ramah, dan dengan hangat menyambut kedatanganku. Ternyata Pak Kades sudah tau maksud dan tujuanku datang ke situ. Seperti biasa, banyak basa-basi, untuk menyelami karakter orang yang aku ajak bicara. di tengah percakapan, bu kades muncul dari belakang tirai membawakan kudapan dan minuman untuk menuguh diriku, dan dia ikut duduk menemani Pak Kades, dan perbincanganpu kami lanjutkan.

"Mas Alfa, sudah pernah pergi ke Todanan mas...?" tanya ibu kades.
"di todanan ini banyak objek wisata alam, ada Gua Terawang ada Waduk Bentolo, ada juga Bumi Perkemahan" tambah Pak Kades
Memang sih saya belum pernah sama sekali pergi kesana, hanya pernah lewat saja. Emmm tapi kalo Goa Terawang pernah sih...suasananya masih alami, tapi kebersihannya kurang terjaga, khususnya fasilitas Toiletnya.

Setengah jam kami gunakan untuk berbincang kecil, dan aku mulai mengajak Bapak Kades agar menunjukkan lokasi jalan yang diusulkan. Sebelum kami menuju lokasi, bapak memberi kabar melalui pesan singkat (SMS) ataupun telepon kepada perangkat desa, agar ada banyak teman yang membantu mengukur jalan. Setelah menutup, dari bapak Kamituwo, tiba-tiba Bapak Kades berkata kepada saya, bahwa dia memohon maaf tidak dapat menemani proses pengukuran jalan, dikarenakan ada urusan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi entah mengapa aku melihat ada yang aneh dengan bapak, ekspresinya mendadak tegang dan berkeringat, sehingga spontan aku bertanya: “Maaf bapak sedang sakit?” dengan nada santun agar tidak menyinggung bapak. “ohh... endak apa-apa mas, lho bapak sehat!!!” jawabnya sambil menepuk-nepuk dadanya.

“Kulanuwun...” terdengar suara salam dari arah luar, ehh ternyata bapak Kamituwo dan Pak Carik datang bersama kedua pemuda desa, memenuhi panggilan bapak Kades. “Mas Alfa... nanti ngukur jalannya sama mereka saja ya, mereka sudah ahli kok” kata Pak Kades. Yahh.... untuk mempersingkat waktu, akupun lantas pamit, dan meneruskan tugasku. Akupun bersalaman dengan Pak Kades dan ibu, dan melanjutkan tugasku...

Dalam perjalanan menuju lokasi (dengan berkendara motor), akupun memperkenalkan diri kepada bapak-bapak yang menemaniku. Ternyata mereka juga ramah-ramah dan sangat baik. Mereka mempunyai semangat untuk dapat memajukan desa, agar desa tersebut dapat bersaing dengan desa-desa di Kecamatan Kota. Mendengar perkataan itu aku sempat bangga dengan mereka, meskipun di pelosok Kabupaten seperti ini, mereka masih mempunyai suatu motovasi diri yang tinggi.

“Pak... lokasinya masih jauh ya?” tanyaku ingin tahu...
“Tidak mas... itu didepan sana, sebentar lagi sudah mau sampai...”jawab pak carik
Syukurlah, benar kata pak carik, kamipun berhenti, memarkirkan motor kami. Aku buang pandangan sejauh mungkin, menikmati kondisi alam yang memang masih sangat asri.

“Lhoo pak.... daerah yang disana itu.. waduk ya pak?” tanyaku sambil menunjuk genangan yang cukup luas di sudut desa.

“Iya mas... itu yang namanya waduk Bentolo” jawabnya, dan entah mengapa pak carik tidak berniat meneruskan pembicaraan tentang waduk tersebut. Akan tetapi aku dibuat penasaran.

“Oww waduk bentolo, itu waduk yang dikatakan Bapak Kades tadi, luas juga ya pak... kok tidak dimanfaatkan dengan optimal, untuk rekreasi mungkin?” kembali aku bertanya kepada mereka.

Sesaat terdiam, dan tak ada yang menyahut pertanyaanku, “Emmm ya kami cukup tertolong dengan adanya waduk tersebut mas...” pak Kamituwo menjawab, dan...

“Mari mas kita langsung saja berjalan ke lokasi” ajak Pak Carik mencoba menghentikan pembicaraan mengenai waduk tersebut. Ada apa yang, ahh mungkin hanya perasaanku saja, tapi aku merasa ada yang aneh dengan bapak-bapak ini. Setiap aku tanya perihal waduk, mereka mencoba mengalihkan pembicaraan. Ahh biarlah, nanti setelah kami selesai pengukuran, akan aku tanyakan. Mungkin saja waktunya belum tepat (mencoba positive thingking)

Di siang hari yang panas, kami mengukur jalan, men-sket, dan mencatat elevasi. Dibantu oleh pak kamituwo, pak cari dan kedua pemuda yang merek ajak. Aku ambil beberapa foto dokumentasi, namun... “Mas Alfa.. sudah mas... tidak usah ambil foto banyak-banyak, nanti memorikameranya habis lho” sambil menepuk bahuku, pak Carik menghentikan dokumentasi.

“Pak... memorinya masih banyak kok, tidak bakalan habis” ujarku, tapi pak cari kembali berkata yang membuatku berpikir bapak-bapak ini, memang aneh, atau? Aku yang terlalu berpikir yang bukan-bukan.

“Tapi pak, foto-foto ini untuk dokumentasi, dijadikan bukti otentik bahwa kondisi nol persen jalan memang seperti ini adanya” aku mencoba menjelaskan.
“Iya mas... tapi kan tadi sudah diambil beberapa foto, kan sudah cukup” Pak carik dengan nada yang agak tersinggung memaksaku menghentikan dokumentasi. Ya sudahlah, aku hentikan foto-fotonya, kalo memang tidak boleh difoto-foto.

Akhirnya pengukuran selesai juga dan kami berjalan menuju tempat parkir motor kami. Ditengah perjalanan, aku mendengar suara alat berat, seperti escavator. Dan ternyata benar. Ada alat-alat berat yang sedang berproduksi, beberapa meter dari posisi kami. Kok ada alat-alat tersebut di pelosok kabupaten?, tanyaku dalam hati.
“Pak... maaf, sedang ada proyek ya pak?” kuberanikan diri bertanya

“Oww itu mas... iya mas... dengan adanya mobil-mobil besar itu, desa kami menjadi bising, belum lagi ada satu mobil yang biasanya mengeluarkan suara yang keras, yang bisa memecahkan batu, kalau mobil itu beroperasi, tanah desa seperti bergoncang kuat” ujarnya sangat antusias bercerita.

“Ngomong-ngomong, memang mau membangun apa pak? Kok sampai mendatangkan alat-alat berat?” ada sesuatu hal yang menarik perhatianku.

“Katanya sih mau dibuat pabrik gitu mas...” jawab pemuda yang sedari tadi diam seribu bahasa.

Wahh... keren juga ni, ada lapangan pekerjaan yang dapat menyerap banyak tenaga kerja, ucapku dalam hati. Memangnya di tempat seperti ini mau dibangun pabrik apa ya...? Kemudian pak kamituwo mendadak berhenti dari langkahnya, dan sepertinya ingin berkata serius, raut wajahnya menunjukkan hal itu.

“Tapi mas... dengan adanya alat-alat tersbut, membuat sumber air di Waduk Bentolo menjadi berangsur-angsur menyusut. Debit airnya pun semakin hari semakin menyusut” Ujar pak kamituwo, dan aku rasa dia sangat ingin bercerita rupanya. Akupun menyimak dengan senang hati.

“Waduk Bentolo adalah waduk yang sangat berarti bagi kehidupan di sini mas... dari waduk inilah kami warga desa bisa hidup dan mendapatkan kebutuhan air sehari-hari” Pak kamituwo melanjutkan ceritanya, dan nampaknya dia sedikit sedih, aku ikut terlarut suasana, hanya terdiam mengalir bersama alur yang disampaikan Pak Kamituwo.

Sedikit memberanikan diri, aku berkata kepada bapak-bapak tersebut: “Maaf pak, bukannya saya kurang sependapat dengan bapak... Apakah pada musim kemarau seperti saat ini, air diwaduk juga terus ada menggenang pak? Tanyaku pada mereka.

“Ohhh tentu saja mas... waduk itu tidak pernah surut, sekalipun kemarau panjang” timpal Pak Carik sangat menggebu.

Emmm begitu rupanya, pantas saja warga desa sangat resah melihat kondisi waduk yang mengalami surut seperti saat ini. “Pak.. boleh tidak jika kita sebelum ke tempat parkir motor, kita coba tengok waduk tersebut, sebentar saja pak, mungkin saya bisa mencarikan solusi” pintaku kepada mereka, sepertinya agak berat meng-iya-kan permintaanku. Tapi...
“Ya sudah, ayookk kita ke sana, sebentar saja tidak masalah” jawab pak Carik, dan dia memberi kode dengan anggukan kepada Pak Kamituwo dan kedua pemuda tadi. Kamipun berjalan ke arah waduk. Terhitung singkat, kamipun sampailah sudah di tepian waduk, wahh... luar biasa, aku baru tahu jikalau Waduk Bentolo ternyata cukup luas.

Kalau aku lihat, airnya masih cukup banyak, memang sih ada sedikit ada penyusutan di tepian waduk. Mataku dengan takjub melihat waduk tersebut, dan entah mengapa, sepertinya ada yang menarik perhatianku. Ada sesuatu benda yang menyembul keluar, tepatnya berasal dari tengah Waduk . Jika aku amat-amati benda yang sebagian besar terbenam itu, dan hanya tampak bagian kecilnya saja, begitu menyilaukan ketika sinar matahari terpantul dari pemukaannya. Sontak saja, aku bertanya kepada mereka: “Pak... saya melihat ada benda yang sangat menyilaukan di tengah waduk, benda apa itu ya pak?”

“Yang mana mas... Oww itu, itu salah satu parameter pengukur ketinggian air dalam waduk mas...” jawab pak Carik sedikit kebingungan, nampaknya ada sesuatu hal yang ditutup-tutupi oleh mereka. Jika benda itu adalah parameter pengukur ketinggian air, pastinya tidak akan dipasang ditengah Waduk . Hal ini membuatku tambah ingin tahu. Tapi melihat situasi yang nampaknya tidak mengijinkanku, akupun sedikit meredam rasa penasaranku.

“Bagaimana mas alfa... sudah puas melihat kondisi waduknya?” Pak Kamituwo mengajak untuk meninggalkan waduk, dan entah hanya perasaanku saja atau memang benar, bahwa mereka berempat seolah mencoba menutupi sesuatu yang aku tidak tahu apa itu. Yahh... belum sempat juga aku mengambil foto-foto waduk itu,tapi... ya sudahlah, nanti saja ketika mereka berempat sudah pulang, aku bisa leluasa mengambil dokumentasi waduk. Dan benda asing itu, aku ingin sekali memfotonya.

Pak kamituwo mengajak kami untuk mampir ke rumahnya, yang memang diantara keempat warga tersebut, rumah pak kamituwo-lah yang paling dekat dari lokasi tempat kami berada.  Di sanalah kami disuguhi kudapan dan minum, ya setidaknya cukup untuk mengganjal perut yang sudah mulai keroncongan. Di rumah bapak kamituwo, kami juga bersenda gurau, bercakap-cakap, sungguh suasana yang begitu hangat. Jam yang melingkar ditanganku menunjukkan pukul 15.00 WIB, saatnya untuk aku undur diri. Setelah mohon pamit, dan kami bersalaman, aku menghampiri motor supraku, kukenakan jaket tempur dan helm, akupun meninggalkan rumah Bapak Kamituwo.

Aku tidak langsung pulang, perasaan ingin tahuku mengenai waduk Bentolo berkecamuk dengan kuatnya. Aku berpikir sangat leluasa mengambil foto-foto yang akan aku jadikan dokumentasi nantinya di kantor, siapa tahu berguna. Aku berinisiatif mencari jalan lain menuju waduk, agar niatanku ini tidak diketahui oleh bapak-bapak tadi. Sampailah aku ditepi waduk, posisiku saat ini lebih dekat dengan benda asing yang menjadi pusat keingintahuanku. Aku ambil kamera digital dari saku tasku. Dengan zoom in, aku ambil semua gambar yang tampaknya berguna. Sekitar 20 foto aku dapatkan, dan aku coba untuk melihat hasil jepretan tadi. Betapa terkejutnya diriku, benda asing itu ternyata bukanlah alat ukur ketinggian air, atau apalah itu seperti yang disampaikan pak Carik.

Terlihat bagian bagian kapal indukmenyeruak ke permukaan
Tidak sama sekali... benda asing itu tepat seperti dugaanku, benda itu sangat besar di bangian yang terbenam di air waduk, dan yang muncul itu, hanyalah bagian tonjolan kecil saja. Jika aku lihat dari gelap terangnya difoto, benda itu secara keseluruhan seperti “simbal drumband”, dan bagian yang mencuat kepermukaan itu adalah sedikit bagian dari tonjolannya saja. Warnanya keemasan, dan ketika sinar matahari mengenai permukaannya, maka akan sangat menyilaukan. Aku sangat kaget, dan terpaku tidak bergerak.
Inilah penyebab warga desa terdiam, dan menutup-nutupi keberadaan benda asing ini. Mereka begitu kawatir jika air waduk surut, maka rahasia mereka akan terbongkar. Oleh karena itu, mereka begitu mengutuk, adanya pembangunan pabrik, jika ada keramaian masuk ke desa ini,maka nantinya akan membuat desa ini terekspose ke luar. Benda asing yang sepertinya bundar itu, kira-kira berdiameter 30-an meter, cukup besar memang, dan bakalan menjadi sorotan masyarakat kota, mungkin juga nasional, bahkan internasional.

Tiba-tiba, dari ujung waduk (diseberang tempat aku berdiri), aku melihat sosok yang tampaknya aku kenal, dengan kemeja yang dia gunakan. Aku bersembunyi dari balik semak-semak. Rupanya dia adalah Bapak Lurah. Langkahnya gontai menuju waduk, aku baru menyadari bahwa ukuran jari pak Lurah sangat panjang, tidak seperti ukuran jari pada umumnya. Kulitnya pucat dan tampak ada bercak-bercak kecoklatan (padahal sebelumnya tidak ada). Apa yang sedang dia lakukan, dia mencoba membasuh wajahnya dengan air waduk, dan sungguh pemandangan yang membuatku takut. Wajahnya terkelupas separuh, dari kejauhan aku melihat, seperti karet silikon yang dia lepas dari wajahnya itu. Dibalik karet silikon tersebut, aku melihat mata yang sangat besar, dengan iris mata berwarna kuning. Dan saat ini, dia melihat ke arahku. Aku ketakutan sangat parah, sampai sendi-sendiku tidak bisa aku gerakan.

Makhluk itu berdiri, dan mengacungkan telunjukknya ke arah semak tempat aku bersembunyi. Aku terjerembab terduduk. Betapa kacaunya perasaanku saat itu. Dari arah belakang, ada orang yang mendekap mulutku, dan memegang tanganku. Saat aku mencoba meronta, aku melihat mereka adalah keempat warga yang bersama-sama denganku sedari tadi. Mereka adalah Pak Kamituwo, Pak Carik, dan kedua pemuda desa.

Mereka tidaklah orang yang sama, yang aku kenal... topeng-topeng silikon telah terkelupas satu per satu, sehingga wujud asli mereka terlihat jelas. Aku tertangkap dan diseret kedalam Waduk ... tanpa bisa mengelak. Mereka mencoba menenggelamkan diriku ke waduk... dengan jelas aku bisa menatap wajah mereka, mata yang bersat, hidung yang hampir tiada, tanpa daun telinga, dengan jari-jari mereka yang panjang. Aku melihat motor supraku mereka rusak dan mereka buang ke waduk. Wajahku di masukkan kedalam waduk, berkali-kali dicelupkan dan tanpa bisa melawan.

Dan saat nafasku hampir habis....

Akupun tersentak kaget. Aku buang bantal yang menutup wajahku, rupanya aku tidur tengkurap malam itu. Dan aku lihat jam di alarm BlackBerry sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB.

Kisah ini hanyalah bunga tidur seorang perjaka yang terlalu kecapekan bergadang, sehingga munculah ilusi dalam pikiran... Maaf ya, hanya mimpi...

1 comment:

Mohon Perhatian ^^

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Buat Sobat-Jhonna, pembaca setia blog saya:
Terima kasih atas kesetiaannya membaca ataupun membagikan Informasi yang Jhonna sajikan. Alangkah bahagianya, jika Sobat tidak berkeberatan untuk MENCANTUMKAN alamat blog jhonnastudio.blogspot.com, saat sobat meng-copy dan mem-pastenya dan kemudian Sobat MEMBAGIKANNYA pada forum lainnya...

Salam Hangat...
Salam Keseimbangan Antar Ciptaan...
by: JhonnaStudio
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------