Saturday, May 17, 2014

Kematian adalah Awal dari Kehidupan


Pada postingan yang lalu, saya pernah menuliskan mengenai pengalaman saya dan ketakutan saya mengenai kematian (link), bahkan bayangan-bayangan tentang kematian yang selalu merasuki diri, sehingga membuat suasana kecemasan yang teramat sangat. Dan jika saya boleh jujur, itu sangatlah mengganggu.
Semua orang di dunia tanpa terkecuali pasti takut mati, jikapun ada yang tidak takut mati, kemungkinan yang terjadi adalah selama hidupnya mungkin dia sudah “mati”. Tentu saja mati dalam hidup itu bukanlah makna sebenarnya. Manusia normal, sehat jiwa, mental, dan raganya pasti mengalami ketakutan akan kematian. Hal ini dikarenakan, manusia ingin memperlakukan kehidupannya dengan sebaik-baiknya, sehingga dia takut mati.

Jika saya tidak takut mati, pastilah saya akan menyebrang jalan dengan sangat sembarangan, tanpa menoleh kanan dan kiri. Akan sekonyong-konyong menyebrang, karena saya TIDAK TAKUT MATI!
Lebih gila dari itu adalah, jika saya tidak takut mati, maka saya akan makan makanan sembarangan, apapun itu dapat saya makan. Entah itu makanan yang baik ataupun beracun, karena saya TIDAK TAKUT MATI!
Dan yang gila lainnya, jika saya tidak takut mati, saya akan masuk kedalam lingkungan preman, lingkungan para brandal, rampok dan orang-orang yang bengis lainnya, kemudian saya coba lecehkan kekasih dari salah seorang diantaranya. Niscaya saya akan mendapatkan hadiah bogem mentah, dan bisa-bisa saya digantung di tengah alun-alun kota, karena saya tidak takut mati.

Ketakutan akan kematian, adalah wajar.

Tanpa mengurangi rasa kepercayaan diri, ataupun iman. Karena kita sebagai manusia hanya sekali mengalami KELAHIRAN, sekali mengalami KEHIDUPAN, dan hanya sekali mengalami KEMATIAN.
Walupun wajar ketakutan akan kematian itu, namun tidak untuk menerus dipikirkan. Kita dewasa, dan dengan jujur menyadari bahwa kita pasti mati. Sehingga tak perlu lagi ditakutkan dan tak perlu dikhawatirkan. Lantas, bagaimana sebaiknya sikap kita?

Anggap saja, dunia ini adalah panggung perlombaan. Siapa yang terbaik, akan membawa pulang hadiah, kenangan baik, dan cerita yang baik pula. Pada saat perlombaan berakhir, dan saat itu pulalah, kita harus pulang dan membawa sejuta kenangan selama masa perlombaan dengan baik, penuh syukur dalam ketenangan. Ketika perlombaan berakhir, dan setiap orang harus pulang,  maka banyak cara dan beragam jalan yang mereka tempuh. Ada yang lebih memilih untuk berjalan kaki menyusuri trotoar, ada yang dengan berlari kencang karena tak sabar ingin sampai rumah, ada yang naek sepedah, ada yang mengendarai motor, mobil, pesawat, kapal laut, dan beragam cara yang ditempuh dengan tujuan RUMAH.

Tidak ada Tempat yang lebih indah dibandingkan RUMAH kita.

Dunia adalah panggung perlombaan, setiap manusia berlomba-lomba melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri lebih dahulu, untuk kebaikan bersama. Tak dipungkiri, bahwa dalam perlombaan pasti ada permasalahan, intrik, dan bumbu-bumbu menarik, ada pula kebahagiaan, ada pula kesedihan. Ada keberhasilan, ada pula kegagalan. Apapun yang kita rasakan, ingin rasanya bergegas sampai di rumah, untuk mencurahkan segala hal yang telah kita jumpai selama dalam perlombaan. Tidak ada tempat yang lebih indah daripada rumah  kita.

Adalah suatu kisah:
Seorang ayah mempunyai  dua orang anak, sebut saja SULUNG dan BUNGSU.
Pada suatu ketika si BUNGSU meminta hak atas harta warisannya, dan memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah guna menghambur-hamburkan kekayaannya. Dia menghamburkan harta miliknya kepada para perempuan-perempuan nakal, membenamkan dirinya dalam pesta pora penuh kemabukan duniawi, dan membuat dunianya penuh dengan hawa napsu dunia. Selang beberapa waktu, si BUNGSU menyadari bahwa hartanya kini telah habis, dan tidak bersisa. Teman-temannya yang dulu sangat menghargainya, kini telah pergi jauh meninggalkannya, karena si BUNGSU sekarang dalam kondisi melarat. Hari-harinya kini tak semewah dan semegah dulu. Saat dia lapar, dia hanya bisa meminta kepada seorang majikan untuk memberikan kepadanya sisa-sisa makanan, namun tidaklah dia dapatkan. Dan betapa terharunya dia, ketika ada seorang peternak babi, yang memperbolehkan ia untuk mengisi perutnya dengan ampas makanan, yang dimakan pula oleh ternak babi.

Hidupnya kini jauh lebih sengsara, dan dia sangatlah malu untuk pulang. Karena ayahnya pasti tidak akan mengakui dia kembali sebagai anaknya. Hari-demi hari si BUNGSU mengisi hidupnya dengan bekerja di peternakan babi, dan sampailah ia di ujung kesabarannya. Dia memutuskan untuk berhenti, dan kembali pulang ke rumah ayahnya. Tidak perduli apapun yang akan terjadi padanya, karena dia menyadari hidup sebagai budak pun, dirumah ayahnya, jauh lebih mulia disbanding hidupnya saat ini.

Si BUNGSU menguatkan tekatnya, dan sampailah dia di depan rumah ayahnya, dengan rasa malu, dia menatap ke pintu gerbang rumahnya. Tampaknya SANG AYAH sudah sejak lama menanti-nantikan kedatangan anaknya yang BUNGSU itu, dari kejauhan SANG AYAH berlari dan menghampiri anaknya yang telah lama hilang, merangkulnya, menciumnya dan menyuruh pelayan-pelayan untuk mengganti pakaian dan kasut yang telah kumal ia kenakan. Bahkan SANG AYAH membuat pesta penyambutan, yang sangat meriah guna ucapan syukur atas kepulangan anaknya yang BUNGSU.

Tidak ada tempat yang lebih indah daripada di rumah, oleh karena dirumah kita bisa beristirahat dengan tenang, dan kita tidak perlu takut, tidak perlu malu untuk mengakui segala hal yang telah kita perbuat.
Pada suatu saat nanti ketika kita pulang, maka “SANG AYAH” akan tetap berbelas kasih, berbaik hati menyambut setiap anak-anakNya yang pulang dalam kebaikanNya.


Yang awal adalah yang akhir, dan yang akhir adalah yang awal.

Kita tidak perlu kawatir tentang bagaimana, kapan, dimana kita mati. Karena kematian adalah wajar, dan mari menyikapinya secara wajar-wajar saja.
Mobius spiritualitas, mengingatkan kita bahwa “Awalan adalah akhiran, dan akhiran adalah awalan”. Mungkin saat ini kita menyangka bahwa kematian adalah akhir dari segalanya, hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Kematian bukanlah akhir, namun awalan untuk kehidupan baru.
Sering pikiran kita dirundung kekawatiran dan ketakutan akan kematian, namun cobalah mulai saat ini, kita tidak perlu lagi terlalu mencemaskan hal itu.

Cobalah kita memikirkan bahwa, kematian adalah cara dunia ini untuk menyusun kehidupan selanjutnya. Artinya bahwa dengan kematian kita, maka akan muncul, akan lahir kehidupan-kehidupan baru yang akan mewarisi kehidupan, daripada unsur-unsur kematian kita.
Semua manusia yang mati, pasti akan membusuk raganya, system organnya pasti tidak akan lagi bekerja. Oleh karena tidak ada keseimbangan penyusun kehidupan. Otakknya juga akan membusuk sama seperti setiap organ-organ yang lain (kecuali tulang belulang). Setiap memori akan terhapus, oleh karena otak sudah terurai. Unsur-unsur hara akan terurai dan larut dalam tanah dan air, masuk kedalam siklus bio-geo-kimia. Unsur-unsur yang tepat, diserap kembali oleh tumbuh-tumbuhan untuk menyokong kehidupannya, begitupula dimanfaatkan oleh serangga, dan makhluk-makhluk detrivor (pemakan detritus, atau pemakan remah-remah organis). Unsur dalam kematian manusia, larut dalam bagan aliran kehidupan lain, guna menyokong kehidupan baru.

Kematian bukanlah akhir, namun adalah suatu gerbang baru untuk kehidupan-kehidupan yang baru, yang lahir dari kematian kita.
Kita tidak perlu menyesali yang telah tiada, karena dari ketiadaan itu, banyak bermunculan suatu keberadaan baru dalam beragam jenis, warna, dan rupa. Sebaiknyalah kita bersyukur senantiasa, karena alam ini telah mengatur dirinya dengan sebaik-baiknya. Mari kita coba membayangkan sejenak, jika setiap makhluk di planet bumi ini semuanya kekal?, lantas cukupkah unsure-unsur di bumi ini menyokong sekian banyak kehidupan? TIDAK !!! yang akan terjadi adalah banyaknya penyakit, meningkatnya polusi dan pencemaran, banyaknya tingkat kriminalitas, banyaknya konflik, banyaknya perang, dan lebih mengerikan dari itu semua adalah kita akan mengalami krisis multi-dimensi, mengalami krisis air bersih, krisis pangan, krisis ekonomi, krisis budaya dan sebagainya.


Maka baiklah kita tetap berfikiran wajar, dan menyandarkan hidup kita yang singkat ini, dengan perbuatan-perbuatan baik,  dalam perlombaan kebaikan di dalam kehidupan.


____Salam Keseimbangan antar Ciptaan

Banyak Jalan Menuju Sorga


Ketika tulisan ini berhasil di posting, pasti akan menimbulkan reaksi, entah itu pro ataupun kontra. Baik pro ataupun kontra, saya tidak sama-sekali mempermasalahkan hak para pembaca sekalian, karena itulah arti kemerdekaan. Saat saya menulis ini, saya sama sekali tidak menginginkan adanya orang yang menyetujui, atau membenarkan pemikiran saya. Ini hanyalah ekspresi saya, melihat keadaan Indonesia yang majemuk. Terlebih akan saya soroti dalam kajian agama.

Tak ada satupun manusia beragama yang tidak mengenal dogma sorga ataupun neraka. Keduanya merupakan tempat yang akan manusia tuju setelah kematian. Seingat saya, itulah yang diajarkan dalam dogma agama. Doktrim sorga dan neraka terasa sangat kental, saat kita mempelajari teks-teks religius dari agama-agama Samawi, atau agama-agama Pewahyuan, diantaranya: Yahudi, Kristen dan Islam. Dalam ketiga agama agung inilah kita dapat bersentuhan langsung dengan konsep pemikiran, tentang sorga dan neraka.

Tuesday, May 13, 2014

Beragama namun seperti "tidak berTUHAN"


Dewasa ini saya kerap kali menyaksikan baik itu secara langsung, ataupun melalui media cetak, media elektronik, ataupun dalam media internet, adanya tindakan-tindakan anarkistis yang dilakukan oleh orang-orang yang mengatas namakan agama. Saya sangat keheranan, dengan atribut keagamaan yang komplit, dengan bahasa-bahasa kekhasan dari keagamaan tertentu, bahkan dengan membawa-bawa simbol agama tertentu, orang-orang ini seolah lupa bahwa mereka adalah hamba Tuhan. Dengan berbuat anarkis melakukan perusakan, melakukan tindakan nekad memukul orang lain yang dianggap musuhnya, bahkan pernah suatu ketika saya menyaksikan mereka yang mengaku taat dalam agamanya, membakar hidup-hidup orang lain yang saat itu berbeda keyakinan dengannya.

Bukankah dalam agama diajarkan suatu nilai kebenaran?, bukankah di dalam agama selalu ditekankan perbuatan moral yang luhur? Akhlak yang mulia? Pantaskah perbuatan yang mereka lakukan tersebut?

Hanya "beragama saja" tanpa pengetahuan, membentuk moral yang eksklusif. Masyarakat beragama saat ini, saya mencoba menilai, mereka hanyalah beragama saja, tanpa adanya bekal pengetahuan. Hal ini sungguhlah sangat berbahaya, oleh karena masyarakat mudah dihasut, mudah diprovokasi dengan iming-iming pahala sorga. Selain itu, masyarakat ditekankan teror yang menakutkan akan panasnya api neraka, bila mereka tidak menjalankan anjuran dari agamnya. Inilah yang menjadi masalah kita bersama.

Sebagian besar masyarakat beragama di Indonesia, hanya beragama saja, alias hanya menjalankan aturan agamanya secara harafiah (tertulis), namun mereka tidak memahami apa maksud dari yang tertulis tersebut.
Inilah bahayanya, jika kita hanya "beragama-saja".

Mohon Perhatian ^^

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Buat Sobat-Jhonna, pembaca setia blog saya:
Terima kasih atas kesetiaannya membaca ataupun membagikan Informasi yang Jhonna sajikan. Alangkah bahagianya, jika Sobat tidak berkeberatan untuk MENCANTUMKAN alamat blog jhonnastudio.blogspot.com, saat sobat meng-copy dan mem-pastenya dan kemudian Sobat MEMBAGIKANNYA pada forum lainnya...

Salam Hangat...
Salam Keseimbangan Antar Ciptaan...
by: JhonnaStudio
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------