::: picture source: klik::: |
Sebagai masyarakat beragama, pastinya kita tidak lepas dari istilah persembahan, yang adalah ungkapan syukur kita atas berkat dan anugerah dari Yang Esa. Bahkan bagi sebagian kita persembahan menjadi tiang utama dalam sebuah ritual keagamaan. Ada pula yang mempunyai kepercayaan bahwa, jika kita tidak bersembah maka akan dilaknat oleh Yang Kuasa. Tidak dipungkiri, adanya keakuan dalam melakukan persembahan yang terselip di dalam ritual, ada juga keinginan untuk disorot oleh masyarakat banyak dalam melakukannya, tak jarang hal tersebut menjadi jurang pemisah antara kaum yang mampu bersembah dan yang tidak mampu melakukannya. Di lain sisi, ada juga kaum fondamentalis yang bahkan lebih ektrim memaknai soal persembahan kepada Tuhan. Kaum ekstrimis ini percaya bahwa: persembahan yang benar adalah dengan mengkorbankan nyawanya demi Tuhan, dan berjalan di jalan Tuhan?! Benarkah demikian??
Nah, dari beberapa realita yang ada diatas, bagaimanakah sebaiknya sikap kita? Dari sinilah pembahasan dimulai, dalam bingkai persembahan yang benar, yang layak diberikan kepadaNya.
Kisah
Seorang Janda Miskin(1)
Adalah seorang janda miskin, yang hidup sangat sederhana. Mungkin saja upahnya sehari hanya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari. Pada suatu ketika duduklah seorang guru dan beberapa muridnya, mengamati setiap kegiatan keagamaan disuatu tempat ibadah. Sang Murid mengamati orang-orang kaya raya mempersembahkan kekayaannya dalam jumlah yang besar dalam peti persembahan. Tak lama berselang, janda miskit itu memasuki tempat ibadah, lantas mempersembahkan dua peser ke dalam peti persembahan. Beberapa orang kaya tersebut memasang muka mengejek kepada janda itu, namun keikhlasan janda tersebut membawa langkahnya yang lemah keluar daripada tempat ibadah, dengan hati penuh syukur kepada Tuhan.
Murid-murid itu menceritakan apa yang mereka saksikan kepada gurunya, dan Sang Guru berujar lembut demikian: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."
Kisah tersebut mengajarkan suatu teladan yang sangat mulia, yang dicontohkan oleh seorang janda, yang bahkan hidupnya jauh daripada kekayaan dan kelimpahan akan harta benda. Jika seorang kaya mempersembahkan hartanya, itu adalah hal yang wajar. Karena mereka memberi dari kelimpahannya. Namun saat ini kita bercermin dari hati seorang janda yang mulia, dia memberikan segala harta yang dia punyai, upah dia bekerja satu hari, dia persembahkan kepada Tuhan.
Buakanlah suatu materi yang dipermasalahkan saat ini, namun sikap kita dalam bersembah.
Orang kaya itu bersembah, agar dirinya dilihat oleh orang lain, agar dia merasa diri paling diberkati oleh Tuhan. Dan bahkan yang paling celaka adalah, dengan persembahannya yang banyak itu, akan membuat hati Tuhan tergerak untuk memberkatinya berkali-kali lipat. Itu bukanlah sikap bersembah yang baik, namun tak ubahnya sebagai tindakan “menyogok Tuhan”.
Lain halnya dengan seorang janda tua tadi,
Dia memberi dari kekurangannya, bahkan semua materi yang dia miliki, dia haturkan kepada Tuhan, sebagai wujud ungkapan syukurnya atas karunia dan anugerah dalam kehidupan si janda tadi.
Orang-orang kaya yang bergelimang harta dengan jumawa memperlihatkan kekayaan mereka yang akan dipersembahkan kepada Tuhan.
Hal semacam ini sangatlah tidak baik untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai, bukankah persembahan itu suatu hubungan yang sacral dan intim, yang terjalin antara Tuhan dan umatNya?
Jika persembahan beralih fungsi sebagai ajang KESOMBONGAN ROHANI? Maka ritual yang terjadi tak ubahnya hanya sebagai DRAMA ROHANI, yang hanya ingin mendapatkan rasa simpati serta perhatian daripada khalayak ramai, tidak lebih. Jadi sia-sialah persembahannya itu.
Bukankah ada ungkapan: “Jika tangan kananmu memberi, tangan kirimu janganlah mengetahui”
Jika persembahan dijadikan sarana mempertontonkan kekayaan, lantas pahala apa yang pantas untuk diberikan? Selain tepuk tangan dan decak kagum dari penontonnya, tidak lebih!
Sejatinya,
apakah yang seharunya kita haturkan kepada Tuhan?
Tidak sedikit dari kita yang selalu mempresepsikan persembahan adalah berupa material, atau berwujud barang. Benar bukan?
Untuk ambil praktisnya, dapat dicontohkan sebagai: hewan ternak, hasil bumi, hasil laut, ataupun uang. Benar bukan??
Apakah hanya : hewan ternak, hasil bumi, hasil laut, ataupun uang, yang Tuhan inginkan?
Jika kita bersembah selain itu tadi, apakah Tuhan tidak menerimanya?
Kebijaksanaan
Guru yang sedang diuji(2)
Pada suatu ketika datanglah ahli-ahli kitab, dan orang-orang cendekiawan agama mendatangi seorang Guru beserta murid-muridnya, hendak bertanya sekaligus menguji kebijaksanaan guru tersebut. Ahli-ahli kitab, dan orang-orang cendekiawan agama tersebut berusaha menguji dengan pertanyaan: “Apakah boleh kita membayar pajak kepada Kaisar?” Lantas Sang Guru megetahui maksud daripada arah pertanyaan tersebut, dan meminta salah seorang dari mereka, sekeping uang logam satu dinar. Dan Guru bijaksana itupun bertanya kepada khalayak ramai, yang waktu itu berkerumun sangat antusias, katanya: “Gambar dan tulisan siapakah ini?" Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar." Kemudian Sang Guru berkata kembali: : "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Tuhan apa yang wajib kamu berikan kepada Tuhan. Mendengar perkataan Guru yang bijaksana itu, mereka semua mengerti dan takjub.
Apa yang tidak dimiliki oleh Tuhan? Bukankah segala sesuatu Tuhan punyai?
Di alam semesta ini, apa yang tidak dimiliki oleh Tuhan?
Tuhan adalah Sang Maha Empunya segalanya, segala sesuatu kepunyaanNya.
Jika matahari kita, kita perkecil sampai ukuran sel darah putih, maka Galaksi Bima Sakti kita, akan berukuran sebesar Benua Amerika. Dari perbandingan itu saja, kita merasa sangat takjub dan heran, berarti ukuran Jagad Raya Kepunyaan Tuhan ini, seluas apa?? Sangatlah luas, dan tidak berujung.
Kemudian pertanyaan ini dilanjutkan?
Apakah Tuhan menginginkan uang kita?
Tuhan sama sekali tidak membutuhkan materi apapun,bukankah segala materi berasal daripadaNya?
Dialah Sang Pencipta segala materi, baik yang kasat mata ataupun yang tidak.
Tuhan sama sekali tidak membutuhkan materi apapun,bukankah segala materi berasal daripadaNya?
Dialah Sang Pencipta segala materi, baik yang kasat mata ataupun yang tidak.
Uang adalah ciptaan manusia, yang sengaja diciptakan untuk mempermudah dalam kegiatan perniagaan. Tuhan tidak butuh uang kita, ternak kita, hasil bumi kita, yang Tuhan butuhkan adalah apa yang ada dalam hati, dan kehidupan kita. Yaitu hidup kita sepenuhNya dalam mengupayakan kesempurnaan di dalam Tuhan.
Jika saya
berkata, dalam kita bersembah tidaklah sembarangan, segala sesuatu ada
syaratnya.
Pada suatu kali ibu saya membuat kolak pisang banyak sekali, dan beliau menyuruh saya untuk menghantarkan kolak yang berlebih tersebut, untuk tetangga sekita rumah. Ketika hendak ku bawa nampan tersebut keluar rumah, ayah saya melihat dan menghentikan langkah saya sambil berkata lembut: “Jika memberikan sesuatu kepada orang lain, sekalian yang pantas”, dan akupun kembali menuju dalam rumah, dan melengkapi haturan tersebut dengan beberapa makanan yang lain, agar menjadi pantas.
Dari hal yang simple saja, kita mendapatkan pemahaman, bahwa dalam memberikan sesuatu kepada seseorang saja, kita harus mengerti akan kepantasan. Jika kiranya kurang pantas, maka janganlah hal itu diberikan, oleh karena kita akan mendapatkan ejekan dan cemoohan kelak. Apalagi hal yang akan kita berikan tersebut, kita tujukan kepada Tuhan, yang Maha dari segala yang Maha.
Lantas bagaimanakah seharusnya kepantasan kita, dalam mempersembahkan kepada Tuhan?
Wejangan
hikmat seorang Guru kepada Muridnya(3)
Suatu ketika, datanglah seorang murid kepada gurunya, dan bertanya perihal: “Bagaimana mempersembahkan persembahan yang benar itu?” Latas jawab Guru tersebut kepada muridnya:”Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.
Jika kita hendak memberikan persembahan kepada Tuhan, maka kita harus dalam keadaan yang damai, dalam keadaan yang penuh dengan ungkapan syukur. Bukan dalam keadaan hati yang sedang meradang, panas, berselisih bahkan dalam keadaan yang kurang beradab.
Adalah suatu kepalsuan, jika kita berbaik-baik kepada Tuhan dengan menghaturkan persembahan kepadaNya, namun kita masih menyimpan dendam permasalahan kita dengan saudara, kerabat, tetangga, bahkan hati kita dalam bayang-bayang kejahatan. Apakah kita lupa? Bahwa Tuhan yang Maha Kuasa itu, juga Tuhan yang Maha Mengetahui?
Lantas dengan tameng atau topeng apa, agar Tuhan tidak mengetahui isi hati kita?
Ada pula kaum ektrimis yang mengaku menjalankan hidup mereka di “Jalan Tuhan” namun perbuatan mereka tidak lebih baik daripada makhluk tidak bermoral?! Melakukan pembantaian, melakukan pembunuhan atas nama Tuhan. Dan bahkan ada yang merelakan hidupnya, dikorbankan untuk dijadikan sebagai perantara bom, agar meledak di pusat kerumunan masa. Bukankah hal ini suatu kekejian di mata manusia? Bahkan di mata Tuhan?!
Sudikah kiranya Tuhan menerima persembahan yang demikian??
Apakah dengan perbuatan yang demikian, hati Tuhan menjadi gembira dibuatnya?
Bukankah Tuhan adalah Sang Maha Baik? Sehingga dengan demikian, perbuatan yang menciderai orang lain dengan dalil atas nama Tuhan, adalah tindakan yang TIDAK DIPERKENAN OLEH TUHAN.
Pernahkah kita membayangkan, Tuhan bersedih hatinya, atas tingkah laku manusia yang ingin menyukakan hatiNya, berjalan di jalanNya, namun melakukan pembunuhan, penyiksaan, perselisihan, pertikaian antar sesama manusia? Tuhan pasti sedih dan sangat kecewa dibuatnya.
Inti
daripada ritual persembahan(4)
Tuhan sama sekali tidak membutuhkan materi yang kita persembahkan kepadanya, tidak sama sekali. Tuhan tidak memakan persembahan korban bakaran kita, atau persembahan larungan, persembahan hasil bumi kita, tidak sama sekali.
Yang Tuhan inginkan adalah, agar kita mempersembahkan tubuh kita (kehidupan kita), sebagai persembahan yang HIDUP, yang KUDUS, dan yang BERKENAN kepada Tuhan, itulah inti daripada ibadah yang SEJATI.
Posting kali ini, Jhonna tutup dengan sebuah pertanyaan retoris, demikian:
Apalah arti ibadahmu kepadaNya?
Sejujurnya, hal itu mengajarkan kepada kita akan KESALEHAN.
Kesalehan adalah pola hidup kita yang dilandasi ketaatan untuk berbuat baik, kepada sesama ciptaan untuk memuliakan namaNya,
Namun, jika kita rajin beribadah, tindakan-perkataan-pemikiran kita masih jauh daripada kebaikan, apakah pantas bagi kita disebut sebagai orang yang salih?!
Kita rajin beribadah, namun tetap rajin melakukan kejahatan. Bukankah orang salih tidak berlaku demikian?!
Yang demikian itu adalah orang yang sedang melakukan “DRAMA ROHANI”
Jika demikian, maka, apalah arti ibdahamu kepada Tuhan???
--------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------
Catatan kaki :
1. MARKUS 12 : 41-44
2. MATIUS 22 : 19-22
3. MATIUS 5 : 23 – 24
4. ROMA 12 : 1
No comments:
Post a Comment